Ilust - kompasiana |
Yogyakarta yang selama ini mendapat predikat sebagai kota pendidikan nampaknya perlu dikoreksi kembali. Koreksi ini perlu dilakukan untuk menakar kepantasan Yogyakarta menyandang gelar sebagai kota pelajar maupun kota pendidikan. Selama ini Yogyakarta dielu-elukan sebagai miniatur Indonesia karena menampung ribuan bahkan mungkin jutaan ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Ratusan kampus berdiri di Yogyakarta untuk memberikan pendidikan kepada mahasiswa-mahasiswa itu. Inilah yang menjadi dasar penyematan gelar kota pendidikan kepada Yogyakarta.
Kini saatnya berkata jujur. Melihat pendidikan di Yogyakarta akhir-akhir ini sangat miris. Yogyakarta sebagai kota pendidikan tercoreng dengan persoalan dikeluarkannya 12 mahasiswa Universitas Proklamasi (UP) 45 Yogyakarta pasca menuntut transparansi pengelolaan kampus. Persoalan ini berlarut-larut hingga berbulan-bulan bahkan hampir satu tahun tanpa menemukan ujung penyelesaian. 12 mahasiswa yang berasal dari beberapa daerah di luar jogja itu, jauh-jauh datang ke jogja dengan harapan mendapat pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Namun pada akhirnya harus menelan kenyataan pahit, yakni kehilangan hak akademiknya.
Jajaran pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta bukannya tidak mengetahui persoalan tersebut. Namun nampaknya mereka tidak ada komitmen yang tinggi untuk menyelamatkan citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang dapat tercoreng dengan persoalan dikeluarkannya 12 mahasiswa UP 45. Apabila keadaan yang demikian terus berlanjut, berapa banyak mahasiswa yang akan kehilangan hak akademiknya? Mahasiswa yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi seharusnya diberi pengarahan dan pengetahuan dengan cara yang baik. Bukannya dikeluarkan atau diasingkan dari dunia pendidikan. Dengan kenyataan ini, masihkah layak jika Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan?