Tepat pukul 11.00 WIB., mahasiswa memulai aksi dengan melakukan long march dari depan kampus STTNAS Yogyakarta ke depan kampus UP 45. Sesampainya di depan kampus UP45, massa dihadang oleh keamanan kampus dan dilarang untuk masuk ke dalam kampus. Setelah mahasiswa berungkali meminta kepada pihak keamanan untuk dapat masuk, terjadi negosiasi antara pihak keamanan dengan mahasiswa. Pihak keamanan menjanjikan akan menemui pimpinan dan berkoordinasi apakah massa aksi dapat diijinkan memasuki kampus UP 45.
Setelah lama menungggu koordinasi antara pihak keamanan kampus dengan pimpinannya, akhirnya mahasiswa diijinkan untuk masuk. Sesampainya di dalam, mahasiswa tidak menemui rektor yang ingin ditemui oleh massa aksi. Orang yang disebut oleh pimpinan oleh pihak keamanan ternyata bukanlah rektor, melainkan pimpinan keamanan. Sehingga massa aksi menjadi geram karena merasa dibohongi. Karena tidak bertemu dengan rektor, mahasiswa memutuskan menutup ruang rektorat UP 45. Padahal tuntutan mahasiswa untuk memperjuangkan diberhentikannya 22 mahasiswa secara sepihak oleh kampus tersebut merupakan tanggung jawab pihak rektorat.
Seusai menutup ruang rektorat, massa aksi membangun posko Aliansi Solidaritas Mahasiswa Proklamasi di halaman depan Gedung A UP 45. Massa aksi bubar pukul 16.30 WIB.
Aliansi Solidaritas Mahasiswa Proklamasi kembali melakukan aksi pada Selasa, 19 September 2017 dengan tuntutan yang sama. Massa aksi mulai berkumpul di posko solidaritas pada pukul 12.30 WIB. Pada pukul 13.00 WIB., massa aksi mulai melakukan orasi-orasi politik.
Sekitar pukul 16.00 WIB., Korlap aksi didatangi oleh WAKA POLDA Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tujuan kedatangannya adalah meminta mahasiswa untuk membuka segel rektorat. Massa aksi menolak membuka segel rektorat karena hingga hari kedua, Bambang Irjanto, Rektor UP 45 tidak mau menemui massa aksi. Padahal sebelum rektorat ditutup, mahasiswa berpesan kepada pihak keamanan untuk menyampaikan kepada rektor bahwa rektorat akan dibuka apabila rektor mau menemui massa aksi. Karena rektor tetap tidak menemui massa aksi, maka massa aksi enggan membuka segel rektorat. Massa aksi meminta WAKA POLDA DIY untuk meminta rektor menemui massa aksi agar segel rektorat dibuka.
Sekitar pukul 16.30 WIB., rektor datang ke kampus, namun tidak mau menemui mahasiswa. Rektor menawarkan untuk menemui mahasiswa dalam suatu forum yang tawaran itu disampaikan melalui WAKA POLDA DIY. Massa aksi menolak tawaran tersebut karena tidak disampaikan oleh rektor secara langsung. Mahasiswa khawatir rektor mengingkari tawaran tersebut, mengingat rektor telah mengingkari banyak perjanjian yang disampaikan kepada mahasiswa sehingga meminta pihak rektorat untuk bertemu secara terbuka dengan mahasiswa.
Sekitar pukul 18.00 WIB., rektor masuk ke mobil polisi bermaksud meninggalkan UP 45. Massa aksi menghadang mobil polisi dengan duduk berbaris di depan mobil tersebut dengan tujuan agar rector bersedia menemui mahasiswa dan menyelesaikan persoalan pemberhentian 22 mahasiswa dengan transparan dan bijaksana.
Pukul 18.30 WIB., datang puluhan aparat dengan pentungan dan beberapa membawa senjata laras panjang merepresi mahasiswa. Mengusir mahasiswa yang duduk di depan mobil polisi dengan memaksa melindas massa aksi dan melakukan pemukulan kepada beberapa massa aksi. Beberapa massa aksi cidera terkena pukulan aparat dan tertabrak motor aparat. Selanjutnya polisi pergi bersama rektor UP 45.
Pukul 21.00 WIB., puluhan aparat dengan senjata lengkap kembali datang ke kampus meminta mahasiswa untuk membuka segel rektorat dan menurunkan semua spanduk berisi tuntutan yang dipasang oleh mahasiswa di berbagai penjuru kampus. Karena mahasiswa tidak mau memenuhi permintaan para aparat yang datang, maka aparat tersebut membuka sendiri palang penutup rektorat dan menurunkan semua spanduk yang berisi tuntutan mahasiswa.
Melihat respon rektor UP 45 terhadap aksi damai yang dilakukan mahasiswa, menunjukkan rendahnya jiwa demokrasi yang dimiliki dan anti kritik. Hal ini juga menegaskan bahwa lembaga pendidikan terutama Universitas Proklamasi 45 bukan lagi menjadi lembaga pendidikan yang edukatif dan transparantif dalam pengambilan kebijakan kampus dengan tidak adanya ruag pembelaan bagi mahasiswa unuk mengklarifikasi persoalan yangmenyebabkan mereka diberhentikan secara sepihak. Selain itu, rektor yang tidak demokratis telah berupaya memanfaatkan aparat untuk menjadi tameng dalam menghindari proses demokrasi di tingkatan kampus.
Peristiwa ini merupakan gambaran krisis demokrasi di Negara ini terutama dalam dunia pendidikan dalam mencetak generasi yang ilmiah, demokrasi dan bervisi kerakyatan sehingga kampus telah menjadi ruang hampa dan hanya sebagai pencetak robot-robot pekerja yang tunduk dalam kekuasaan modal. Terlebih dengan adanya keterlibatan oknum militer dalam ruang kehidupan kampus yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan moncong senjata yang jauh dari nilai-nilai demokratis.
Menyikapi kejadian yang terjadi pada Selasa, 19 september 2017 saat aksi damai yang kami lakukan, kami mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Mahasiswa Proklamasi menyatakan sikap:
- Mengutuk dan mengecam keras sikap rektor UP 45 yang anti demokrasi
- Mengutuk dan mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian Polres Sleman Dan Polda DIY
- Menuntut rektor untuk mencabut surat pemberhentian terhadap 22 mahasiswa UP 45
- Menuntut rektor UP 45 untuk membuka ruang-ruang demokrasi di kampus
- Meminta KOPERTIS Wilayah V dan MENRISTEK DIKTI untuk bertindak tegas menyikapi permasalahan ini.
Aliansi Mahasiswa Proklamasi merupakan gabungan lembaga/komunitas di bawah:
1 Aliansi UP 45
2 Serikat Mahasiswa Indonesia
3 Cakrawala Mahasiswa
4 FMN
5 SEKBER
6 PEMBEBASAN
7 PMKRI
8 LMND (Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi)
9 GMNI
10 Forum Bem DIY
( UAD, UJB, UIN SUKA, STIPER, STTNS, KERISPATIH, UWMY, UNY, UMY, UCY, APMD, UGM, UST, ATMAJAYA, UPN, INSTIPER,
11 Ekspresi
12 Rhetor
13 Poros
14 Arena
15 Manius
16 FL2MI
17 FH Atmajaya
18 BEM FH UII
19 FH UJB
20 BEM KM UGM
21 KBR
22 PBHI
23 LFSY
24 FPBI
kabarpendidikan. net
0 komentar: