Rabu, 20 September 2017

Petisi: Cabut Drop Out massal terhadap 22 Mahasiswa Universitas Proklamasi 45

Pada periode Maret-Mei 2017, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Proklamasi (AMP) mewakili mahasiswa/i Universitas Proklamasi (UP) 45 Yogyakarta melakukan aksi menuntut transparansi pengelolaan kampus. Tuntutan itu berangkat dari kondisi kampus UP ’45 dengan biaya kuliah yang mahal namun minim fasilitas pendidikan. Seperti minimnya buku perpustakaan, minimnya peralatan laboratorium bahkan mahasiswa harus melakukan praktikum di kampus lain untuk memenuhi mata kuliah praktikum tertentu.  
Selain keadaan kampus yang demikian, hal yang memicu aksi mahasiswa menuntut transparansi pengelolaan kampus adalah pengangakatan Ir. Bambang Irjanto, MBA. Sebagai Rektor UP 45. Mahasiswa mempertanyakan proses pengangkatan Bambang sebagai rektor oleh ketua yayasan UP 45 karena saat pemilihan rektor yang melibatkan senat, Bambang memperoleh suara pemilih terbanyak ketiga. Mahasiswa mempertanyakan mengapa calon rektor dengan pemilih terbanyak pertama dan kedua tidak diangkat sebagai rektor.
Lebih lanjut mahasiwa mengetahui bahwa dalam surat perjanjian antara Bambang Irjanto dengan pengurus yayasan UP 45, disebutkan bahwa Bambang berhak mengelola dan menentukan strategi pengembangan UP 45. Selain itu, dia berhak atas 20 % dari hasil keuntungan bersih tahunan (100 %) UP 45.  Hal ini semakin memperbesar tanda tanya mahasiswa atas pengangkatan Bambang sebagai rektor.
Selain karena ketidakjelasan proses pengangkatan Bambang sebagai rektor, mahasiswa mendapati pemalsuan data Bambang Irjanto di forlap dikti. Di forlap dikti tercantum bahwa Bambang mengajar sejumlah mata kuliah kedokteran di fakultas kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia(UII). Namu ketika diklarifikasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UP 45, pihak FK UII Yogyakarta menyatakan bahwa Bambang Irjanto tidak pernah mengajar di FK UII.
Menanggapi aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, Bamang Irjanto mengeluarkan surat keputusan rektor berupa surat peringatan yang dapat naik statusnya menjadi surat pemberhentian sebagai mahasiswa hanya dalam 10 hari kalender sejak surat diberikan. Surat tersebut diberikan kepada 22 (dua puluh dua) mahasiswa yang terlibat aktif dalam aksi mnutntut transparansi pengelolaan kampus dengan alasan bahwa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa berlangsung anarkis. Padahal saat melakukan aksi, mahasiswa telah meminta ijin dari aparat setempat dan aksi mahasiswa dipantau oleh aparat. Sehingga seandainya terjadi tindakan anarkis pastilah aparat yang menangani. Namun kenyataannya tidak ada tindakan dari aparat yang hal itu berarti aksi mahasiswa berlangsung aman dan damai.
Selain melakukan pemberhentian massal terhadap 22 mahasiswa, yayasan dan rektor Universitas Proklamasi 45 mengedarkan peraturan yang mencederai ruang demokrasi mahasiswa di lingkungan UP 45. Larangan itu berupa larangan bergabung dengan organisasi ekstra, pembatasan melakukan rapat, hingga larangan melakukan aksi demo. Tindakan ini kami anggap sebagai sebuah pelanggaran keras terhadap hak-hak demokrasi yang semestinya dimiliki setiap warga Negara indonesia.Tindakan rektor yang memberhentikan mahasiswa secara massal dan menutup ruang demokrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap beberapa aturan perundang-undangan dan ideologi negara, Pancasila. Salah satunya adalah Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 28E), Undang-Undang No 12 Tahunn 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 63), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (utamanya Pasal 25).Tindakan pemberhentian ini kami yakini sebagai bagian dari pembungkaman aspirasi mahasiswa di rumahnya sendiri yang bernama kampus. Atas tindakan tersebut mahasiswa menilai telah terjadi tindakan kesewenang-wenangan, secara sepihak dan  maladministrasi yang dilakukan pihak kampus.
Menyikapi surat keputusan rektor yang dipandang cacat prosedur dan dikeluarkan hanya berdasarkan egoisme dan subjektifitas Bambang sebagai rektor baru, maka mahasiswa melaporkan hal tersebut ke pihak Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 02 Juni 2017.
Menyikapi laporan mahasiswa, ombudsman memediasi rektor dan mahasiswa pada 14 juni 2017 bertempat di kantor ORI Perwakilan DIY. Dalam mediasi tersebut dihasilkan kesepakatan bahwa surat pemberhentian terhadap 22 mahasiswa tidak diberlakukan dan mahasiswa berjanji untuk mengedepankan jalur dialogis dalam menyikapi dinamika di UP45 yang komitmen ini dituangkan dalam surat pernyataan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak dan kepala kantor ORI Perwakilan DIY. Namun tragisnya, beberapa waktu setelah mediasi, rektor tetap memberhentikan 22 mahasiswa yang bersangkutan dengan alasan bahwa surat pernyataan yang dibuat oleh 22 mahasiswa tersebut tidak sesuai dengan surat pernyataan yang diinginkan rektor. Padahal surat pernyataan yang dibuat oleh mahasiswa substansinya telah sesuai dengan poin-poin yang ada dalam berita acara mediasi yang dilakukan di kantor ORI.
Demi mementingkan masa depan dalam pendidikan, mahasiswa mengalah dengan membuat surat pernyataan sebagaimana yang dibuatkan oleh rektor. Mahasiswa menyerahkan surat pernyataan sebagaimana diinginkan oleh rektor pada 21 Juli 2017. Namun rektor tetap  memberlakukan surat peberhentian terhadap mahasiswa dengan diedarkannya Surat Edaran Rektor No. 449/J.10/UP/VII/2017 tentang  Penegasan Status Pemberhentian Mahasiswa. Posisi mahasiswa semakin disudutkan oleh rektor dengan mengedarkan surat dengan Nomor : 512/J.10/UP/VII/2017 yang berisi intruksi kepada seluruh dosen untuk tidak memberikan nilai kepada 22 mahasiswa yang diberhentikan.
Sebagai upaya untuk dapat mnyelesaikan permasalahan secara damai, mahasiswa meminta KOPERTIS Wilayah V Yogyakarta untuk memediasi mahasiswa dengan rektor. Berdasarkan permintaaan mahasiswa, KOPERTIS Wilayah V Yogyakarta memediasi mahasiswa dengan rektor UP 45 Yogyakarta. Berdasarkan mediasi tersebut, KOPERTIS menyerahkan kembali masalah agar diselesaikan di internal UP45 karena dianggap sudah hampir dicapai titik temu.
Menindaklanjuti mediasi di KOPERTIS Wilayah V, Mahasiswa mengirimkan surat kepada rektor dengan nomor surat: 114.DPM/VIII/2017 yang berisi permohonan agar rektor bersedia berdialog dengan mahasiswa yang di DO dalam suatu forum untuk membahas terkait DO dan syarat pencabutannya. Namun surat tersebut tidak pernah direspon oleh rektor baik melalui surat maupun lisan.
Melihat tidak adanya itikad baik dari rektor, maka mahasiswa melaporkan ke DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terkait permasalahan pemberhentian sebagai mahasiswa yang terjadi di UP45. Menindaklantujti laporan mahasiswa, DPRD mengadakan forum mediasi antara mahasiswa dengan rektor UP45 dengan mengundang KOPERTIS Wilayah V, APTISI Ombudsman dan Dewan Pendidikan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di UP45. Namun rektor tidak hadir dalam audiensi tersebut. Sehingga mediasi berubah menjadi audiensi. Dihasilkan keputusan, DPRD akan mengirimkan surat kepada Rektor UP45 yang isinya meminta agar segala keputusan terkait pemberhentian 22 mahsiswa ditangguhkan. Kemudian akan diagendakan mediasi kembali. Namun demikian, surat dan usulan dari DPRD diacuhkan oleh rektor sehingga DPRD menyarankan mahasisswa untuk mengadukan masalah ini ke Gubernur DIY mengingat permasalahan ini mencoreng nama baik Yogyakarta sebagai kota pendidikan.
Melihat arogansi dan sikap apatis rektor terhadap upaya damai yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan permasalahan ini, membutikan bahwa rektor telah berbuat sewenang-wenang dan tidak melihat usaha-usaha dan kecintaan mahasiswa terhadap Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Link Petisi: www.change.org

SHARE THIS

Admin:

0 komentar: